Adil Sejak dalam Pikiran, Apalagi dalam Perbuatan.

catatanku untuk Pemilihan Umum Indonesia 2024

1998setiapsaat
4 min readFeb 13, 2024

Itu tidak asing. Judul tulisan ini adalah saripati dialog antara Jean Marais dan Minke di dalam buku Pram berjudul Bumi Manusia (buku yang dilarang beredar Jaksa Agung tahun 1975). Di halaman 52 Jean Marais berkata : “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”

Kata Terpelajar bagi warga negara Indonesia adalah kata yang mewah. Hanya 4,39% dari 237,8 Juta penduduk Indonesia (Sensus, tahun 2021) yang mengenyam pendidikan sampai Strata pertama. Porsi terbesarnya adalah 23,4% berstatus tamat Sekolah Dasar.

1,56% warga negara Indonesia berusia 15–59 tahun adalah buta huruf (Susenas, BPS 2022). Persentase kecil dari 200 juta totalnya. Tapi 2 juta itu ada. Sampai hari ini. Dan ada probabilitas generasi millenial / generasi Z dari 1,56% itu yang masih buta huruf sementara di bagian wilayah lain ada yang sudah menulis Thesis untuk gelar masternya.

Kita tidak sedang hidup berdampingan merebut kedaulatan sebagaimana tahun-tahun penuh gejolak 1928, 1948, 1945, atau tahun pembelahan 1965 & 1998 (siapa yang ingat kejadian 1965 atau 1998? hahaha). Kita sekarang melakukan kegiatan bernegara dengan batas-batas negara itu dihilangkan oleh kemajuan teknologi. Sedikit demi sedikit, banyak demi banyak. Sumber-sumber pembelajaran tergiring menjadi open source.Kamu bisa mendapat pembelajaran soal pengelolaan public health dari profesor di Harvard University atau manajemen pengairan kota dari MIT Amerika tanpa kamu berkuliah di sana. Bagi sebagian orang (apalagi yang bisa mengakses platform medium ini) itu bukan hal yang baru. Tapi tidak dengan sebagian yang lain.

Sampai saat ini, di Desaku, berkuliah adalah suatu hal yang mewah. Tidak ada imajinasi meneruskan S1, S2 atau S3. Itu adalah sampel dari populasi besar, dan masih banyak yang lebih parah di daerah-daerah lainnya hanya dalam satu sektor : Pendidikan.

Adil sejak dalam pikiran

Sebagai segelintir warga negara, 4,39%, yang mengenyam pendidikan strata satu di salah satu Institut Teknologi di Indonesia, ada 2 kerangka berpikir yang aku gunakan dalam memutuskan untuk memilih Presiden dan wakilnya pada tahun 2024 ini:

  1. Education & Sustainability Education Concern (Perhatian Pendidikan & Keberlangsungan Pendidikan)
  2. Renewable Energy Partiality (Keberpihakan pada Energi Terbarukan)

Poin nomer 1 adalah pondasi dasar untuk angan-angan Indonesia Emas 2045 itu. Ia adalah batu pertama untuk mercusuar yang menjulang dengan bendera merah putih berkibar di ujung atasnya. Sikapku tidak ada tawaran untuk ini. Harga mati untuk perhatian pendidikan dan keberlangsungan pendidikan. Dengan nilai-nilai sebagai turunannya : pemerataan akses pendidikan, pembangunan infrastruktur keras (gedung, fasilitas) & infrastruktur lunak (kurikulum, pemberdayaan tenaga pengajar, efisiensi birokrasi pendidikan), serta dorongan untuk lingkungan yang mendukung mengenyam pendidikan di Luar Negeri.

Poin nomer 2, keberpihakan pada energi terbarukan, adalah keniscayaan. poin tentang energi adalah hal yang beririsan denganku kurang lebih dalam 8 tahun terakhir sekaligus tema Tugas Akhirku, spesifik tentang energi terbarukan tenaga gelombang laut.
Pada tanggal 12 Desember 2015, 196 negara menyepakati perjanjian paris atau biasa disebut Paris Agreement, untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata di seluruh dunia sebesar 1,5 derajat celcius pada tahun 2030. Kerja-kerja transisi energi sangat vital di sini. Transisi energi didorong dengan menekan sumber energi yang mencemari (mencemari suhu dengan menaikkannya/ mencemari lingkungan akibat penggunaannya) dengan energi yang lebih ramah lingkungan dan ketersediaannya melimpah. Salah satu kerja-kerja transisi energi adalah mendorong bauran energi.

Bauran energi yang dicanangkan pemerintah adalah sebesar 23% di tahun 2030. Berikut adalah kondisi terkini bauran energi di seluruh provinsi di Indonesia :

cited from IESR

Namun, hematku, mendorong bauran energi sesuai target tanpa mengurangi penggunaan sumber-sumber energi yang nyata merugikan adalah omong kosong. Selain itu, ekosistem energi terbarukan beserta riset-risetnya yang tidak diberdayakan kemudian sambil berkampanye soal transisi energi adalah omong kosong yang lebih besar lagi.

Kerja-kerja transisi energi adalah kerja-kerja lingkungan. Artikulasi dan persepsi seseorang untuk melahirkan kebijakan akan hal ini adalah penting dan mendesak.

Apalagi dalam Perbuatan

He plants a forest to hide one tree. Aku tidak bersama mereka yang menanam hutan untuk menyembunyikan satu pohon. Aku bersama mereka yang menanam hutan agar pohon-pohon yang tumbuh bisa menjadi sumber kehidupan untuk semua yang hidup di dalamnya.

Aku mempercayai meritocrachy based sebagaimana aku membenci nepotisme. Nilainya sama besar. Penghargaan untuk kepakaran, kompetensi dan kemampuan seharusnya menjadi jalan normal bagi yang mempercayai kemajuan dan sedang menuju ke sana. Meritocrachy tidak di kenal di Indonesia. 78 tahun kita bias dan sangat bengkok. Konskuensinya adalah ketidakadilan yang melanggengkan kecemburuan sosial.

Sendi-sendi bernegara dan pengelolaan kekayaan di dalamnya harus dikelola dengan standar merit based. Ini bagiku adalah bare minimum sebuah nilai. Tidak ada koncoisme, Nepotisme berdasarkan Trah, ongkos posisi sosial, apalagi nama besar bapak. Sebagaimana Calon Wakil Presiden nomor 02 melakukannya tanpa satupun rasa cemas di perjalananya sampai hari ini. Ide yang begitu buruk dan memalukan. Fairness matters.

H-1 pemilihan umum saya cukup kuatir bangsa ini akan memilih orang yang salah. Tampuk tertinggi kekuasaan adalah subjek vital penentu, meski outsourcing 5 tahunan, arah gerak 237,8 Juta warga negara. Jalan begitu panjang. Disparitas dan polarisasi adalah batu kerikil dari track panjang menuju negara maju dan berkeadilan. Angan-angan bagi semua, melebihi 2045, jauh lebih jauh dari itu.

Kita ada di fase pembelahan setiap 5 tahunan. Pemilu 2024 sangat menyedihkan. Kita tidak cukup ruang pemberdayaan akal dan pemberdayaan merit untuk tahun ini. Jika nanti bangsa ini memilih dengan sengaja untuk orang yang tidak tepat. Jalan itu semakin terjal. Kita mundur 57 tahun. Ongkos yang terlalu mahal untuk ditebus.

Suatu hari nanti jika kita benar-benar kehilangan kehadiran negara (seperti hari ini), paling tidak kita masih memiliki satu sama lain.

Deposuit potentes de sede et exaltavat humiles (Dia rendahkan mereka yang berkuasa dan naikan mereka yang terhina.) — Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer.

Selasa Kliwon, 13 Februari 2024. — 23.57 WIT

--

--