Bagian-bagian Apolitis yang Sengaja Dipilih

1998setiapsaat
4 min readJan 20, 2024
doc : Mereka Yang Dipisahkan, Raharja Waluya Jati, Penerbit Elsam (2001)

Ini adalah salah satu cuplikan percakapan dengan Paimin, ayah Suyat. Suyat adalah salah satu korban penghilangan paksa di era Orde Baru pada Februari 1998. Suyat adalah satu dari, paling tidak, 13 lainnya yang diadvokasi Kontras-LbH — secara legal-formal, dan diingat ratusan lainnya pada setiap hari Kamis.

Setiap Kamis di depan Istana Negara Jakarta orang tua para korban penghilangan paksa zaman Harto berdiri di depan istana itu untuk menuntut keadilan bagi penghilangan anak-anak mereka. Kegiatan setiap hari Kamis itu kemudian disebut aksi Kamisan. Dengan payung dan baju serba hitam, aksi tersebut sudah berjalan 17 tahun, dengan hitungan kamis sebanyak 802 — semenjak 18 Januari 2007 sampai 18 Januari 2024.

doc : Mereka Yang Dipisahkan, Raharja Waluya Jati, Penerbit Elsam (2001)

Pada akhirnya itu memang bagian yang sedih saat dilihat dari sudut mana pun. 25 tahun waktu yang terlampau lama untuk menunggu sebuah jawaban dari rezim. Pun juga bagi ibu Sumarsih, Ibu dari Wawan, salah satu penyintas penghilangan dengan sengaja. Ibu Sumarsih sebagai wajah depan aksi kamisan — paling tidak begitu. Dari rambutnya hitam sampai memutih, kamis adalah hari yang begitu dekat secara emosional. Lebih dekat daripada api dengan panasnya.

Doc : Nasional-Tempo

Suyat menghilang pada medio Februari 1998, sementara wawan menghilang pada 13 November 1998 saat menjadi relawan medis dalam demo penolakan sidang Istimewa MPR RI yang disinyalir adalah ajang konsolidasi kroni-kroni orba-nya Harto.

“Kami sekeluarga selalu santap malam bersama. Anak-anak saya, Wawan dan Irma antusias bercerita tentang pengalaman menarik mereka di kampus dan sekolah. Saya masih ingat betul kala itu Wawan menyebutkan tentang agenda reformasi. Kami pun sahut-sahutan karena saya sebagai pekerja di DPR dan bapaknya Wawan di lembaga penelitian juga tak asing dengan isu yang diperjuangkan mahasiswa. Sayur asem, empal dan tempe goreng tepung adalah kesukaan Wawan.”

Ibu Sumarsih, dalam Wawancara Amnesty International peringatan 16 tahun Aksi Kamisan, Januari 2023

Sisanya kini adalah kemarahan. Sebagaimana santer dielu-elukan kini : tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual, maka adil kiranya nalar yang sama juga kita lakukan pada pelaku kejahatan HAM. Itu tidak bisa ditawar.

Seorang bekas Jendral culun berbicara keras soal keadilan, namun ia tidak berbicara apa-apa. Hanya tong kosong dari sejarah yang remuk wajah kanannya. Sisanya adalah politik praktis, meskipun ia juga tau perkawinanya dengan politik adalah satu hal dan menjadi politis adalah hal lainnya.

Lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat mengemukakan 34 dokumen laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999 terkait pengilangan paksa yang menyeret nama bekas jenderal culun itu.

PAGE 2 point 5 Doc Code : JAKART 02579 01 OF 02 070636Z

Grup IV Kopassus bertanggung jawab penuh atas penghilangan ini menurut dokumen dengan label confidental ini. Seirama dengan itu, dalam dokumen lain dari sumber yang sama, orang-orang yang dihilangkan Grup 4 ditempatkan di suatu tempat di antara Jakarta dan Bogor.

Wajah remuk orang culun itu dipulihkan dalam dekade-dekade setelahnya, dimulai dari pencopotannya lewat mahkamah militer 6 April 1999 yang tidak berpihak pada korban dalam upaya pengusutan dalang kejahatan kemanusiaan hingga nina bobok sejarah yang berjalan pelan namun pasti ke dalam masyarakat negara ini.

Tidak kalah menyedihkan, seorang selebtwit mengatakan dalam diskusi space paltform X yang mengatakan bahwa Aksi kamisan adalah dagangan. Itu hal yang menyakitkan — paling tidak bagi mereka yang berdiri setiap kamis 17 tahun belakangan. Suatu fenomena yang meyakinkanku, untuk urusan pilihan politik orang sering menjadi apollitis dan tuna sejarah.

Dalam upaya-upaya memihak korban, tidak memberi ruang bagi pelaku kejahatan HAM adalah tindakan mitigasi bagi pengulangan sejarah di masa depan. Ini bukan soal kebencian kepada figur, namun ini adalah tindakan yang normal dilakukan dan harus dilakukan sebagai konsekuensi dari kerugian sejarah yang sudah mereka lakukan dengan atau tanpa sengaja.

Pada mulanya adalah penghilangan, kemudian apologi dengan nasonalisme kosong. Kesalahan adalah tendensi yang tidak bisa dielakkan, kemudian ada tendensi kedua yang bisa dilakukan : meminta maaf. Namun tendensi kedua tidak pernah dilakukan. Dialog juga tidak berjalan, apalagi upaya-upaya pendekatan lain.

Lalu lahir tendensi ketiga : Cuci tangan. Tendensi ketiga ini melahirkan spektrum kongkalikong yang tidak kalah menyedihkan. Akhirnya semua orang melompati anak tangga dari tendensi pertama ke tendensi ketiga dengan seolah-olah tidak pernah ada kamus dalam bahasa indonesia yang mengenal kata meminta maaf.

Bahasa Indonesia menyediakan kata meminta maaf hanya berlaku untuk kelompok rentan yang tidak begitu besar pengaruhnya. Sebaliknya, itu tidak berlaku bagi pemegang modal dan kekuasaan. Hal ini dinormalisasi sampai-sampai warga negara ini hanya memahami kalau penguasa dan pemegang modal melakukan kesalahan itu adalah hal yang tidak harus diluruskan. Saking jauhnya jarak gap anatara posisi individu warga negara, saking normalnya kalau kelompok rentan tidak akan menang melawan penindasan.

Sebagian warga negara memilih berjalan sendiri-sendiri, tidak mengenal berhimpun, tidak mengenal berorganisasi, sebagian yang lain pasrah dengan keadaan, sebagian besar yang lain capek dan berakhir apolitis. Melihat bendera-bendera partai & baliho-baliho itu dipasang dengan bersemangat oleh kaum-kaum rentan warga negara ini, hatiku hancur berkeping-keping.

--

--