Homo Ludens: Kenapa Kita tidak Bermain lagi?

1998setiapsaat
3 min readMar 16, 2024

Menjadikan sesuatu sebagai kegiatan bermain adalah satu hal dan menjadikan hal yang sama sebagai keseriusan adalah hal lain. Kontradiksi ini mengakar sejak abad pertengahan. Meskipun bantahannya juga ada di abad yang sama dalam permainan catur atau sekadar menggiring bola. Lalu abad modern menelurkan metode : Bermain sambil belajar. “Sambil” berarti beriringan, meneguk air dan berenang dengan air yang sama.

Wage Rudolf dalam tiga stase Indonesia Raya melakukan dua hal dalam satu tarikan ruang dan waktu : Bermain menyusun tangga nada dan Membuat lagu kebangsaan. Menyusun tangga nada dalam membuat sebuah lagu terasosiasi sebagai permainan dengan spektrum turunanya adalah membuat musik, penghayatan, gelak tawa, isak tangis. Membuat lagu kebangsaan terasosiasi dengan syarat berdirinya negara menurut Hukum Internasional, patriotisme, dan soft diplomacy. Keduanya beriringan dan membantah kontradiksi antara bermain dan keseriusan.

Judi Online adalah permainan dengan iming-iming uang berkali-kali lipat dari taruhan awalnya. Sebuah permainan yang dilakukan dengan serius, sebuah taruhan yang menggadaikan aset pemainnya dalam berbagai rupa : dari uang hingga nyawa. Permainan yang bergerak, menggeret, dan menggilas pemainnya. Menggencet ketakutan dan meniadakan rasa takut itu sendiri. Mendorong kenekatan, memberi dopamine , mencetak adrenaline untuk bergerak memenangkannya. Ditengah gencetan dan dorongan itu manusia ditenggelamkan.

Homo Ludens, manusia sebagai makhluk bermain, dikenalkan J. Huzinga seorang sejarawan asal Belanda. Permainan lebih dulu ada dari kebudayaan, begitu ia membuka bab pertama bukunya. Anak anjing tidak perlu belajar membaca untuk bisa kegirangan saat melihat bola kasti. Begitupun manusia : bermain adalah insting awal. Bayi dan balita diberi ruang untuk bermain, dan dianggap wajar sebagai fase pertumbuhan.

Kemudian seketika fase bermain berhenti. Saat manusia menjajaki umur-umur selanjutnya. Mereka lupa : bermain bukanlah perilaku dari fase anak-anak. Ia adalah keniscayaan.

Ballet
Pada suatu hari saya melihat pertunjukan ballet. Dari ruangan yang gelap itu sorot lampu selalu mengarah ke penarinya. Satu gadis semampai, dengan wajah mirip orang hispanik, atau itu lebih mirip perempuan dari negara balkan. Saya benar-benar tidak peduli dengan pesan yang mau disampaikan dari tarian itu. Namun saya mengingat satu gerakan : Grand Jete. Gerakan balet mirip orang meloncat itu membawa saya ke sebuah essai dari seorang pundit yang ditulis pada medio 2017 yang saya baca.

Grand Jete pada tarian ballet termanifestasi di solo run Maradona saat mempecundangi Inggris pada Perempat Final Piala Dunia 1986. Hari di mana Maradona dilahirkan dengan label baru : “si Tangan Tuhan”. Dan sisanya adalah sejarah.

punditfootball.com

Seperti halnya ballet, sepakbola adalah permainan yang membentuk sejarah, mengaspal jalan aspal baru dari masa lalu ke masa depan. Teknik-teknik dikembangkan, sosok-sosok dilahirkan, kenangan-kenangan dibuat, kematian-kematian diingat. Sepakbola melahirkan gedung-gedung, mencetak buku-buku, sirkulasi ekonomi, trend dan hype, rivalitas lintas generasi. Itu semua, ya, berawal dari sebuah benda bundar.

Manusia sebagai pemain, termanifestasi dalam setiap perilaku di setiap ruang, di lolongan waktu. Ia berusaha mengalahkan, berkompetisi dengan lawan, atau dengan kepala mereka sendiri. Mengorbankan dan dikorbankan untuk mencapai suatu dataran tujuan yang mereka bayangkan. Dari tarian Ballet tempo hari itu jauh saya merenungi Huzinga dalam buku Homo Ludens-nya. Bermain adalah keniscayaan sepanjang zaman untuk manusia dan hewan.

Anak kecil bermain dan orang dewasa mengawasinya. Orang Dewasa kadang-kadang bermain dan anak-anak mereka yang kadang-kadang menjadi arenanya. Anak-anak dibentuk dari cita-cita orang dewasa, dari cita-cita suatu peradaban, dan sering ditemui : dari anak kecil dari diri orang dewasa.

Bermain adalah totalitas bagi anak-anak. Dan bagi orang dewasa, bermain adalah eskapisme. Sebuah pelarian dari keadaan diri mereka. Tidak ada totalitas bermain bagi orang dewasa selama mereka menganggap bermain adalah kegiatan anak-anak bukan sebagai pendahulu kebudayaan yang akan membentuk sebuah peradaban.

--

--