Nubuat untuk Cak Munir
“Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yg miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpihak kepada yang tertindas.”
-Munir Said Thalib
Ia berbicara disamping tumpukan kertas perkara, namanya Munir dalam sebuah dokumentari lawas. Wawancara itu tampak lawas mengingat percakapan yang dilakukan banyak jeda dengan lafal-lafal bahasa Indonesia tulen dan belum disisipi imbuhan/kosakata kekinian.
Dengan kemeja putih panjang yang agak kedodoran dan ditekuk di bagian tangan sampai sebelum siku itu ia menceritakan tetang ide-ide dan pembebasan. Sementara orang bicara ketakutan dan hayalan yang terlalu banyak tapi.
“Karena IMPARSIAL (Lembaga Bantuan Hukum yang didirikannya untuk membantu advokasi orang-orang hilang) bukan lembaga profit, maka saya juga harus cari uang dari jalan lain” Imbuhnya
Sejak berkuliah di Universitas Brawijaya Malang ia sudah turut serta mengorganisir serta mengadvokasi kasus-kasus buruh, penindasan secara tidak langsung dari pabrik rokok di Malang kepada buruh-buruhnya, penasihat hukum kasus buruh Marsinah tahun 1994 dan lain sebagainya.
Meski ia mengenyam jurusan Hukum, ia mahir membetulkan antena dan televisi. Dari sanalah part time income yang masih ia lakukan meski lembaga IMPARSIAL sudah ia gawangi.
Kemudian sisanya seperti yang ada di koran-koran dan berita. Sehari sebelum keberangkatannya ke Amsterdam untuk melanjutkan Studi ia berpamitan dengan kawan-kawan di IMPARSIAL menggelar syukuran (kalau terlalu kecil untuk dikatakan pesta perpisahan) sedikit berbagi makanan. Sehari setelahnya ia sudah berada di Bandara, menumpang pesawat Garuda nomor penerbangan GA-974 dan nomor kursi 40-G.
12 Jam akan ditempuh Munir untuk membawanya sampai di Amsterdam. Di atas langit Romania ia meregang nyawa. Munir keracunan Arsenik yang dilarutkan dalam es Jeruk. 7 September 2004 ia mangkat berkunjung ke Tuhan.
Hari ini 7 September 2021, 17 Tahun setelah kematiannya. Kamu tak perlu tau siapa yang membunuhnya, sebagaimana siapakah yang melipat kemeja putihnya waktu ia lupa?
Perjalanan Jakarta-Amsterdam itu ulang-alik memori anak bangsa yang dibunuh bangsa sendiri. Di udara dingin di atas langit Romania.
Sebagaimana juga kamu Cak, seandaniya orang-orang juga harus berani, ketika memutuskan berani sembahyang Sholat maka implikasinya juga harus berani membela yang tertindas dan dilemahkan. Ah seandainya itu bukan hanya omong besar doang bagi kami. Cuma slogan to impress, to amuse tapi juga punya manifestasi dan nyawa di kelakuan. Ah seandainya Cak.
Sebagaimana juga kamu Cak, jika arah ke tenggara tidak semua orang tau, maka berkewajibanlah bagi yang tahu untuk memberi tahu. Seperti logika sederhana bagi hari-hari : Hentikan orang-orang yang mencuri, Laranglah setiap orang yang berbuat keji bagi orang lain dan tumbuh-tumbuhan.
Anak-anak kecil yang berkelahi, dilerai masing-masing ibunya yang sedang ngrumpi. Politisi-politisi yang berkelahi dilerai siapa? Kepentingan-kepentingan penguasa yang berperang melawan suara-suara rakyatnya sendiri…
Namun, ingatan itu Cak, selalu akan pulang ke kampung halaman. Ketika di sudut kabupaten Malang kami temukan postermu di tembok-tembok trotoar. Di jalan-jalan Ibukota, burjo belakang kampus, Arah menuju jalan kos. Ya banyak juga ya Cak. Maka tak salah kami buat Nubuat tulisan ini buatmu. Tidak dilebih-lebihkan apa lagi dikurangi. Karena cinta kami itu keputusan sadar bukan kalkulasi-kalkulasi.
Salam Cak, semoga kami bisa mewarisi keberanianmu, semuamu, semuamu.