Obrolan Kita Tentang Cinta dan Negara

1998setiapsaat
5 min readJan 17, 2020

--

saking : twitter.com

Setelah kereta kita berangkat waktu itu aku bacakan sajak mbah Tedjo kepadamu, yang terhenti pada bait : “ Aku lebih suka mendekapmu daripada menghafalkan kata-kata aku mendekapmu “. Kadang aku setuju dengan bait itu, dan kadang tidak. Kadang aku lebih suka mendekap bayanganku sendiri, ngobrol-ngobrol dengan aku yang bersemayam di kedalaman batin.

Aku beberapa kali lebih percaya dengan aku di sana, semenjak beberapa orang tidak benar-benar mendengarkan. Semenjak orang-orang keburu-buru, semenjak orang-orang lebih dulu mengecek ponsel mereka dibanding mengecek kesiapan memulai hari.

Kereta berjalan dan berhenti di beberapa stasiun. Tiba di salah satu stasiun, kau tanyakan padaku apa itu cinta, ku jawab tunggu dulu dan diam. Kamu melihatku aneh dan sebal. Aku tidak bermaksud apa-apa karena pertanyaanmu itu harus kau cari sendiri dan hadirkan di depan matamu agar kelak kamu tidak lupa dan hanya menghafal definisi cinta tanpa pernah merasakan. Seperti orang-orang di bangku kuliahan yang hanya pandai menghafal.

Aku tunjuk seorang porter di stasiun, dan kukatakan itu adalah cinta. Aku tunjuk seorang yang tertawa dan kukatakan itu adalah cinta. Cinta itu lebih tinggi dari materi sehingga tidak bisa dihitung dengan hitungan kalkulasi, cinta itu lebih besar dari tampakan fisik sehingga kamu tidak bisa melihatnya dengan kaca mata fisik itu.

Kau termangu menatap jendela yang gelap karena malam hari telah jatuh. Lampu kereta yang terang memaksa kaca memantulkan wajahmu yang kebingungan.

Dalam batin aku menggumam : “ Biarlah kau mengembara dalam kebingunganmu mencari cinta, hingga mencapai kesadaran bahwa cinta yang kau cari tidak ada di luar sana, melainkan ada di dalam dirimu. Yang menunggu disebar.”

Kau menyerah dan tanyakan padaku apa itu Negara, aku tidak tahu kali ini. Kau beri beberapa penjelasan. Semuanya berisi kemarahan dan akumulasi dendam.

Aku ingat dan telah membaca suratmu yang tidak elektronik di zaman digital ini, bahwa katamu, ada yang mengkampanyekan penanaman bibit pohon karena hanya agar mereka tak kebanjiran, bukan karena ingin meratakan hak pohon untuk hidup. Ini tidak adil katamu. Di kalimat lain, katamu, ada yang memberi hukuman untuk menanam 100 bibit ketika ada yang menebang 1 pohon, tapi hukuman itu tak berlaku bagi pabrik semen yang meratakan ratusan hektar hutan jadi dataran gundul. Ini sangat lucu katamu.

Ditengah penjelasanmu tiba-tiba kau hentikan suaramu yang seperti Maudy Ayunda itu, kau menyadari aku melamun.Kau tanyakan kenapa melamun dengan tersenyum dan air mukamu tenang tidak seperti beberapa menit sebelumnya ketika kemarahan tersulam disetiap lekuk wajahmu saat membicarakan negara.

Aku katakan padamu, kita tidak perlu kaget membicarakan negara. Apalagi bicara politik, kamu tidak perlu memborong jatah marahmu itu. Aku sarankan kita ketawa-ketawa saja. We don’t need stand up comedy anymore, politics serves us better about comedy.

saking : twitter.com

Pukul 22.00 di atas kereta, kau masih bersemangat menceritakan kepadaku tentang negara. Aku lihat sekeliling terlelap dalam ninabobok masing-masing.

“ Kamu tahu tentang partai-partai?”, Tanyamu lagi. “Kita belum ngumpulin partai-partai di negara kita, ngumpulin pimpinannya saja. Lalu kita tanyakan apa mereka masih sepakat untuk melakukan semua kegiatan partainya untuk kepentingan kemajuan negara?” Katamu dengan suara agak kesal.

“Apa kita perlu untuk itu?”

“Ya perlu, karena partai-partai cuma baju-baju yang berkegiatan untuk partai. Tidak yang lain”

“Maksudmu?”

“Kalau memang untuk kepentingan kemajuan, kenapa ada perebutan kursi? pembagian jatah menteri, pembagian porsi-porsi per partai ? “

Aku tidak merespon apapun. Tapi dipikiranku berjalan kata-kata

Aku lebih suka memelukmu daripada menghafalkan kata-kata aku memelukmu, aku lebih suka ber-cinta daripada ber-negara apalagi ber-partai

“ Belakangan aku banyak pikiran, banyak sekali ”katamu memecah sunyi.
Aku tau kau sedang susah payah menjadi orang baik dengan tidak meladeni semua hal yang janggal dengan mendebatnya habis-habisan. Aku tau dulu kau orang yang keras kepala dan banyak dibicarakan orang karena ideologimu yang lumayan tidak bisa di nego. Kau sedikit sekali kompromi, karena kompromi itu awal dari runtuhnya pendirian, katamu.

Aku lebih banyak diam dan menyimak.

“ Yang kamu tunjukkan padaku tentang definisi cinta ternyata di luar apa yang aku kira “ tukasmu lagi. “ Yang sebenarnya ingin aku kemukakan adalah cinta yang monyet. Aku tahu di sana cukup dangkal. Cinta , katamu, lebih tinggi dari materi.”

“ Aku bisa pahami ketika bicara cinta orang lebih mudah merujuk ke pacaran dan pernikahan. Bukan ke arah peduli dan pengayoman “ Sahutku “ Cinta bukan hanya antara 2 makhluk. Bisa antara satu mahkluk ke tak terhingga orang “

“Maksudmu?”

“ Ia bukan yang terhenti atas waktu. Malah menjelajah ruang dan lintas zaman “

Ia terdiam, mungkin tak paham. Biar ia temukan sendiri.

“ Kamu tahu kenapa orang-orang banyak yang kecewa dengan cinta? “ Tanyaku

“ Karena tidak terbalas ? “ Jawabnya

“ Itu kesalahannya ! “

“Maksudmu ? ”

“ Itu kesalahan mereka yang kecewa bahwa cinta harus dibalas. Cinta bukan aturan-aturan seperti negara membuat aturan. Kamu bebas mencintai dan menyebarkan cinta, tapi jangan sekali-kali pamrih untuk mereka membalasnya. Itu fatal dan tidak ikhlas. “

Ia ketawa dan menepuk pundakku. Kemudian kami banyak ngobrol tentang rasa-rasa rokok. Ia bertanya kenapa aku berhenti merokok, kujawab aku belum paham asal-usul keluarga rokok. Ia ketawa lagi.

4 Jam kami ngobrol, dan itu artinya kereta akan tiba di stasiun tujuan kami untuk kemudian berpisah ke tujuan masing-masing.

Segala panggung yang menyediakan mata yang menyorot pada segala bagian dan sisi kita adalah candu yang harus kita sadari. Kepopuleran adalah obat tidur. Seperti katamu, orang sekarang membuat untuk dilihat. Bukan untuk digunakan.

Persepsi sekarang bergeser sangat melebar dan tercampuri opini terburu-buru. Agama baru itu bernama kultus individu. Fanatisme yang membutakan. Kita tolak kalau bisa, segala panggung itu, panggung yang menawarkan kilau lampu yang menyilaukan kita dari keberpihakan untuk orang-orang yang seharusnya lebih diperhatikan.

Kereta sampai, kami turun. Ia akan menghadapi kenyataan dan negara yang dicaci-maki di prosa-prosanya, juga cowoknya mungkin kalau dia masih peduli. Pun juga aku. Pulang. Tidak tau mau ngapain, mungkin nulis lagi yang bener(untuk dibukukan). Di sisi lain, aku akan belajar menenggelamkan namamu, dengan menumpuk kata-kata baru yang kupungut lewat perjalanan nanti. Semoga ikhlas kutemukan.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Ohh kekasih, kemarilah. Dekaplah aku di matahari sepenggalahan yang naik
Peluk aku yang kelelahan dan menangis karena pencariannya tak kunjung sampai
Ooh Presiden, kemarilah. Aku akan mendekapmu kalau bisa, dan usir segala yang mengancammu untuk tidak berpihak ke hati nurani yang mengasihi orang-orang tertindas

Ohh kekasih, sebagaimana rakyat yang keleleran dan mbambung di daratan negara ini
Sepatutnya parta-partai, golongan-golongan, wakil-wakil yang mengatasnamakan rakyat di slogan-slogan mereka juga mbambung dan keleleran, tidak enak makan, tidak enak tidur

Ohh Presiden, menangislah yang kencang jika kau mau
kabarkan kepada rakyat tentang cinta, bukan tentang citra

Saksikan satu istanamu, orang-orang kecil yang memasrahkan diri ke negara yang tak kunjung benar-benar mengilhami jeritan paling sunyi mereka

--

--

1998setiapsaat
1998setiapsaat

Written by 1998setiapsaat

• produk perenungan pikiran dan perjalanan ;

No responses yet